Kamis, 01 November 2012

"Kecaman Terhadap Wajib Militer, Itu Cara Berpikir Salah"

Dalam salah satu pasal Rancangan Undang-undang Keamanan nasional menyebutkan akan adanya pasal tentang wajib militer bagi warga negara Indonesia. Beleid itu jelas menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak. Salah satu alasan kecaman terhadap wajib militer adalah sebagai militerisasi terhadap sipil.

Connie Rahakundini Bakrie, pengajar d

i Fakultas Ilmu Politik dan Sosial Universitas Indonesia sekaligus analis pertahanan militer, justru menganggap pendapat itu cara berpikir salah. Dia beralasan banyak yang gerah dengan Front pembela islam dan partai-partai memiliki laskar. "Terus kenapa negara akan menerapkan wajib militer untuk menjadi tentara cadangan pada protes?" kata Connie balik bertanya.

Dia menyebut Israel sebagai contoh paling bagus soal sistem pertahanan negara. Negara Zionis ini juga menerapkan wajib militer terhadap lelaki dan perempuan berusia minimal 18 tahun. Masa wajib militer buat lelaki tiga tahun dan dua tahun buat perempuan.

Berikut penuturannya kepada Islahuddin dari merdeka.com saat ditemui di sebuah kafe di Mal Pondok Indah 2, Jakarta Selatan, Kamis (1/11) siang.

-Bagaimana Anda melihat mereka yang protes terhadap Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional?

Pertama yang dilihat dari mereka, siapa mendanai. Kedua, memenangkan peperangan tanpa perang bisa terjadi dengan opini. Kenapa sekarang ramai ditakutkan akan mengkebiri undang-undang keterbukaan informasi publik. Bukankah yang ditakutkan adalah tidak ada lagi kebebasan berpendapat?

Sekarang saya balik, kita sekarang itu kebebasannya sudah keterlaluan. Di Amerika Serikat atau Israel, kalau sudah bicara anggaran pertahanan, partai yang jumlahnya sama dengan kita hampir 43 partai dan punya Komisi I seperti di DPR, tapi begitu mencapai angka belanja pertahanan, 43 partai itu akan tutup mulut, karena satu yang dilihat kepentingan nasional. Di Indonesia sekarang, banyak partai, kebanyakan ingin tahu, kemudian pers bocor juga. Yang ada sekarang saling makan dengan lainnya. Itu yang saya bilang Rp 7 triliun untuk pertahanan kita keluar dengan darah dan air mata, berbeda dengan Rp 7 triliun tiap tahun untuk pemilu. Itu angka Pemilu saya gunakan dari data yang sah dari data yang ada dan bisa dipertanggung jawabkan. Saya belum bicara angka, baliho-baliho, belum bicara soal sogokan, dan lain-lain, ini baru bicara data resmi negara.

Sekarang kita bicara pemilu. Indonesia terdiri dari 439 Kabupaten. Berapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari semua itu, hitung? Mau partai kayak apapun juga tanpa punya uang minimum Rp 2 miliar tidak akan mendapatkan suara. Percaya saya, angka suara bisa dimainkan. Untuk mengawasi biaya suara di semua TPS itu perlu uang. Kalau partai tidak bisa mengawasi TPS, pasti suaranya akan diambil oleh yang punya uang.


-Terus bagaimana dengan tentara cadangan dalam RUU Kamnas?

Ternyata benar kata Pak Syafrie dan Pak Emir, ini yang pada protes agar membaca dulu undang-undangnya. Kemudian komparasikan dengan aturan lainnya, tidak akan seheboh itu, kok. Ini terkait juga dengan melibatkan tentara cadangan atau wajib militer.

Padahal dengan belanja pertahanan kita begitu rendah, wajib militer itu salah satu solusi. Wajib militer itu masuknya dalam tentara cadangan. Itu salah satu solusi mempertahankan negara. Balik lagi ke contoh Israel. Kenapa saya contohnya Israel? Contoh paling bagus, Israel kok. Sampingkan ego-ego agama atau ego lainnya, sekarang kita bicara pertahanan negara.

Di Israel, kalau ada yang pintar sekali pasti jadi pilot tempur. Pokoknya angka tertinggi, jadi pilot tempur. Kedua, ketiga, akan sesuai urutan. Yang terakhir, berdasarkan agama tidak boleh memegang senjata, tidak boleh selain belajar agama, misalnya perempuan. Di sana ada hukum agama, perempuan tidak boleh turun keluar, harus di belakang layar. Mereka akan dijadikan ahli-ahli dapur umum dan perawat. Ini saya bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dari perempuan. Ortodoks di sana seperti Islam, tidak boleh ngapa-ngapain atau ortodoks yang ahli agama hanya boleh baca Taurat, ya sudah dibikin saja urusan untuk Taurat saja.

Biayanya paling murah. Itu diambil sejak kelas satu SMA sudah dilihat kemampuannya. Kalau itu bisa, kenapa khawatir akan terjadi militerisasi pada sipil?
Bukankah itu kekhawatiran terjadi selama ini.
Sekarang saya balik, Anda khawatir dengan Front Pembela Islam (FPI). Itu lebih gila lagi. Tiba-tiba bikin laskar sendiri, kita tidak tahu ujung pangkalnya dari mana dan bergerak atas nama Tuhan. Nabi saja tidak pernah begitu. Itu berhabaya sekali, kita punya sekumpulan orang bisa menghajar siapa saja atas nama Tuhan. Padahal Tuhan tidak bisa untuk dikonfirmasi. Kenapa kita harus permisif pada FPI, kanapa harus permisif kepada partai-partai punya laskar. Kenapa? Sementara komponen cadangan negara akan ditarik sesuai standar pertahanan kemanan, kita malah komplain. Ada yang salah dari cara kita berpikir.

-Bagaimana dengan komando cadangan untuk daerah, tapi RUU itu menyebut bukan bupati, gubernur pemegang komando, tapi militer setempat?

Iya itu tadi penjelasannya tentang pasukan cadangan. Sekarang badan undang-undang otonomi daerah, dulu gubernur kita itu dari tentara. Kita lihat dulu rumah Indonesia dulu. (Kemudian dia mencoret-coret dalam kertas untuk menjelaskan sebuah analogi). Kita mulai dari presiden, gubernur, bupati/wali kota, camat, lurah/kepala desa. Itu semua akan disesuaikan, kodam dengan gubernur, kodim dengan bupati, koramil dengan camat, dan seterusnya.

Di sisi lain ada polisi. Ada Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resor (Polres), dan Kepolisian Sektor (Polsek), akan sama urut. Jadi waktu itu gubernur bisa mengontrol Komando Daerah Militer (Kodam) dengan Polda. Bisa secara otomatis kalau terjadi sesuatu di daerah, bisa diatur lansung secara sinergi oleh satu keputusan derah. Sekarang, jadi jomplang karena ada yang diputus di sana sini, sudah tidak sejajar dan tidak sebangun.

Contohnya, antara gubernur dan bupati mana lebih tinggi wewenangnya? Bupati, sekarang tidak ada cerita bupati mau dipanggil oleh gubernur, tidak akan mau dia. Dia sendiri punya daerah, dipilih langsung, bahkan membuat apa saja daerahnya, entah itu mengangkut harta karun, mau menyewakan pulau, pinjam uang, untuk pembangunan daerahnya itu boleh-boleh saja.

-Bukankah wajar RUU kamnas diprotes karena ada ketakutan akan kembali pada sistem Orde Lama?

Takut dan khawatir boleh-boleh saja. Tapi pertanyaannya dibalik, apakah ketakutan semu tadi terus membuat berhenti. Saya berani bilang TNI sudah merevisi total badannya langsung, pada 2000 sudah beres semuanya.

-Terus bagaiamana dengan reformasi di kepolisian?
Dengan segala hormat, belum.

Apa RUU ini juga terkait masih melekatnya unsur militer dalam kepolisian?
Bukan, saya bingung, katanya polisi itu mau jadi sipil. Kenapa dia jadi militer lebih dari militer, karena kita rancu melihat pertahanan dan keamanan. Pertanyaannya sekarang saya balik, berarti kalau TNI kembali ke barak, oke, kembali ke barak. Tapi kasih pesawat tempur benar, kasih mereka untuk bertahan yang benar, kasih kapal cepat yang benar, kapal perang yang benar dan semua, jadi tidak ada lagi kejadian kasus Sipadan dan Ligitan.

-Tapi masyarakat masih trauma terhadap militer?

Itu tidak akan mungkin terjadi. Yang sudah berhasil mereposisi, meredefinisi, fungsi dan peran malah tentara.

-Apa militer mamang tidak percaya kalau sipil yang memimpin?

Kalau saya melihat tidak. Militer kita itu patuh pada hukum. Kalau saya jadi militer tidak patuh kepada hukum, apa susahnya seorang panglima TNI menghadap seperti McArthur, saat perang Vietnam karena dananya mau diputus. Dia langsung menghadap panglimanya saat dana militernya mau diputus. Dia langsung menghadap Asin Howard. "Hei, ini tongkat komando gue. Lu putus anggaran pertahanan gue, anak buah gue mati, tidak diberikan alat utama sistem persenjataan yang lengkap, tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran, gue mengundurkan diri." Di sini cara seperti itu tidak ada karena karena terlalu patuh. Saya pikir sudah saatnya panglima TNI itu berpikir maju.

Kita bicara HAM ya, manusiawikah kita, tentara kita di perbatasan pulau terluar ditengok setahun sekali itu sudah bagus. Jadi sekarang kita ini bicara HAM, HAMnya siapa? Saya tanya, hak-hak sipil? Saya sipil, kok saya merasa sekarang terancam. Saya merasa negara tidak peduli Indonesia dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan negara luar. Kok kita diam saja. Kok anggaran pertahanan negara kita cuma naik cuma 1,2 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP). Kenapa tidak langsung naik seperti Israel langsung naik menjadi 7-12 persen dari GDP. Padahal, ancamannya semakin meningkat

Jangan salah, sekarang abad Asia dan kunci Asia itu adalah Indonesia. Laut Cina Selatan, ini akan dilewati Malaka dan Sunda. Makanya saat ramai pembahasan RUU itu, saya malas datang diundang berkali-kali oleh DPR, karena inti permasalahan paling penting tidak dilihat dulu. Yang dilihat hanya pelanggaran HAM, pers dibungkam, dikhawatirkan mengurangi peran polisi.

"Sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya" mungkin itu yg terjadi.
Ketakutan kekuatan militer digunakan untuk kekuasaan atau status quo rasanya sudah tidak beralasan lagi, sistem yg sudah beda, tak ada lagi pembungkaman, pembatasan masa jabatan presiden aturannya sudah jelas, apa lagi yg jadi alasan takut akan kamnas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar